A. Sejarah perkembangan
Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman
kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah
mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para
pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri
PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para
anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda,
banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar
golongan (intergroup relations).
Ki Hajar
Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan
di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan
kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi
pendidikan Taman Siswa.
Pada masa
penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang
mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje,
C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak
unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya
hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu
bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum
dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan
sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah
Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke dua diselenggarakan oleh
Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi
masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan
sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya
Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun
1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan.
Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa
pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di
dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana
Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah
sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi
Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa
Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua
semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu
Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam
Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik.
Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para
mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah
ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi
mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut
berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa
pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai
Filsafat.
Selanjutnya
buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia
yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang
memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar
sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya
P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en
problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku
Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak,
seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah
mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden
di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan,
Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan
menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan
bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa
text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar
ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi
terbit tahun 1964.
Dewasa ini
telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan
politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang
mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan
Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian
sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena
masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara
sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan
masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai
merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.
Banyak nama
atau orang Indonesia yang menjadi ahli atau sosiolog besar dalam perkembangan
sosiologi di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr
Paulus Wirutomo dan Arief Budiman. Berikut biografi singkat dan peran – peran
tokoh tersebut dalam perkembangan sosiologi di Indonesia :
1. Kanjeng
Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan atau Bapak Sosiologi Indonesia
Kanjeng
Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915 – meninggal di
Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88
tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Beliau juga
disebut sebagai Bapak Sosiologi Indonesia.
Penerima
Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan
pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai
akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas
Hukum Universitas
Indonesia (UI).
Ia dikenal
sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang
meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di
Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar
dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen
sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang
tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan
sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan
pengusaha sukses Soedarpo
Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat
mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan
kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta
nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang
yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari
sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas
karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan
perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu
merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos
kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Selama
hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta
Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana
Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan
Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX
(1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan
staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal
sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar
doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas
Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus
1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari
pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP
UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas
Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia
dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor
Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama
aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia
peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten
Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan
nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia
merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang
mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan
dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika
sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya
sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif
pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo
dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah
satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung
dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada
masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai
Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan
mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan
turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang
dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih
dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka
"mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru
dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk
mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau
menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh
yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan
Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah
dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung
kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra
sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan
tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak
sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai
ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in
Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian
terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima
Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan
dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Pendidikan yang
ditempuh oleh Selo Soemardjan adalah HIS, Yogyakarta (1921-1928), MULO,
Yogyakarta (1928-1931), MOSVIA, Magelang (1931-1934), kemudian dilanjutkan di
Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959)
Perjalanan
karirnya meningkat setahap demi setahap sebagai berikut
- Pegawai
Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1935-1949)
- Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya (1949-1950)
- Kepala
Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri (1950-1956)
- Sekretaris
Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959- 1961)
- Kepala Biro
III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
- Sekretaris
Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1966-1973)
- Sekretaris
Wakil Presiden RI (1973-1978)
- Asisten Wakil
Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978- 1983)
- Staf Ahli
Presiden RI (1983-sekarang)
- Guru Besar
Universitas Indonesia
Karya yang dihasilkan semasa hidupnya
antara lain :
- Social
Changes in Yogyakarta (1962)
- Gerakan 10
Mei 1963 di Sukabumi (1963)
-
Desentralisasi Pemerintahan
Penghargaan yang diterima antara lain
- Gelar ilmuwan
utama sosiologi 30 Agustus 1994
- Anugerah
Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak
peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002
2. Prof Dr
Paulus Wirutomo sang Sosiolog Pendidikan
Prof Dr Paulus
Wirutomo sosiolog dan guru besar FISIP Universitas Indonesia. Pria kelahiran
Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana sosiologi dari Universitas Indonesia,
1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari University College of Swansea
Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari State University
of New York at Albany, USA, 1986.
Dia menjabat Ketua
Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009 dan Ketua Program Magister Manajemen
Pembangunan Sosial Pascasarjana UI, 1997-sekarang.
Dalam wawancara
dengan Kompas di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari
menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr Paulus Wirutomo melihat sosial saat ini
masih disalahpahami. Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih
disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap sebagai
sektor pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga
tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, kata
Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar
pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat peningkatan
interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas hubungan
sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan adanya
pembangunan sosial.
Menurutnya,
bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih memahami pembangunan
sosial itu sekadar charity yang tidak menghasilkan uang. "Mengikuti logika
pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini membutuhkan
masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman
pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai
sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya
dinyatakan tidak menghasilkan uang," jelasnya.
Bahkan, menurut
ahli sosiologi pendidikan itu, pendidikan, sama halnya dengan kesehatan dan
agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang dianggap sebagai
anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal, ujarnya,
pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya diharapkan
akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan kualitas hubungan sosial.
Ditanya tentang
adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman yang betul? Paulus
mengatakan bahwa Departemen Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir
sebenarnya sudah memberikan pemahaman yang betul, melalui pembukaan program
manajemen pembangunan sosial. Bahkan, menurutnya, sebenarnya Menteri Negara
Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan sebagian kecil dari orang Indonesia
yang pernah mendapatkan pendidikan manajemen pembangunan sosial di pascasarjana
UI.
"Dulu kita
membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita di UI merasakan
kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya sesuatu yang berguna bagi masyarakat.
Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada pekerja sosial, pembangunan
sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami melihat tenaga Bappeda yang ada,
SDM-nya seadanya. Ada yang diambil dengan latar belakang ekonomi, hukum,
pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang sosial budaya yang punya ilmu
untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan pengetahuannya. Dengan membuka
program manajemen pembangunan sosial ini diharapkan akan lahir kader manusia
Indonesia yang memahami pembangunan sosial dan punya sumbangan besar bagi
pembangunan bangsa," jelasnya.
Hasilnya?
"Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih kurang dirasakan. Saya berpikir,
persoalannya terletak pada inti pembangunan sosial yang ternyata memang belum
bisa ditangkap secara baik oleh masyarakat dan terutama oleh pemerintah. Sekali
lagi saya tegaskan, inti dari adanya pembangunan sosial adalah kualitas
interaksi sosial, dan kualitas hubungan sosial di masyarakat. Interaksi sosial
itu sifatnya lebih kasat mata. Misalnya orang berkonflik dengan saling lempar
batu, tetapi ada yang lebih mendalam dari interaksi sosial, misalnya hubungan
itu antara buruh dan majikan, guru dan murid, rakyat dan pemerintah. Yang
menyangkut hubungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan yang Anda punya dan yang
saya punya, bagaimana kekuasaan yang senjang bisa menghasilkan eksploitasi. Ini
yang disebut hubungan sosial," jels Paulus.
Paulus sangat
risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan sosialnya sepertinya
hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit kreatif sumber daya manusia
yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang tidak berpihak pada usaha
kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu memberikan sumbangan yang sangat
besar bagi kemajuan bangsa.
Dia memisalkan:
Si A baru lulus kuliah dari teknik industri dan berhasil memproduksi ataupun
menciptakan alat pertanian, katakanlah pacul. Persoalan pertama yang dihadapi
si A, dia tidak punya dana untuk memproduksi ciptaannya. Sistem perbankan yang
ada tidak memungkin-kannya meminjam dari bank karena tidak punya jaminan.
Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap ingin memproduksi idenya adalah
meminjam uang dari saudara, kenalan, atau dari rentenir. Katakanlah dia
berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas dia memulai produksi pacul
ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah mengimpor pacul dalam jumlah
banyak dan dijual dengan harga lebih murah dari harga jual buatan si A. Jelas
produksi si A tidak laku, kalah bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha
produksinya yang menjadi produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada
saat belum berkembang, si A meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang.
Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.
Dia berharap
pemerintah sebagai pengambil kebijakan memberikan dukungan pada usaha-usaha
anak bangsa yang kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
"Persoalan ini tidak sulit kalau memang pemerintah mau dan punya
keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang harus dilakukan sekarang, yaitu
membuat kebijakan nasional yang berpihak pada usaha kreatif. Tanpa ini, saya
kira, bangsa ini akan tetap seperti sekarang, kualitas hubungan sosialnya tidak
meningkat," katanya.
3. Arief Budiman
Sosiolog Lokal yang Melangkah ke Dunia Internasional
Doktor
sosiologi yang terlahir dengan nama Soe Hok Djin ini meninggalkan status
sebagai dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa
Tengah, pasca kerusuhan Mei 1998. Kemudian bersama istri Leila Ch. Budiman
bermukim dan mengajar di Universitas Melbourne, Australia. Dia agaknya belum
mau menghentikan sedikitpun suara kritisnya. Sejak masih muda lelaki keturunan
Tionghoa ini sudah berani mengkritisi kebijakan Presiden Soekarno bahkan turut
turun ke jalanan berdemosntrasi bersama mahasiswa menumbangkan Orde Lama.
Dia adalah
kakak kandung Soe Hok Gie yang meninggal dunia sebagai tokoh pergerakan
mahasiswa. Kendati turut menumbangkan Orde Lama namun justru di masa Soeharto
sepak terjang dan sikap kritisnya semakin menjadi-jadi terlebih setelah
berstatus dosen Program Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga. Pemerintahan yang
diwariskan kepada B.J. Habibie pun tak luput dari kekritisannya yang dia sebut
tak lebih sebagai perpanjangan Orde Baru.
Bahkan hingga
pemerintahan sudah jatuh ke tangan koleganya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur,
suara kritisnya tetap nyaring terdengar. Media massa pada suatu masa pernah
ramai memuat kritiknya kepada Gus Dur ketika menjelang di ujung tanduk
kekuasaan. Arief ketika itu menyarankan sebagai upaya untuk bisa bertahan Gus
Dur jangan lebih banyak membuat musuh melainkan harus berkoalisi.
Akhirnya dia
merelakan diri dihujani kritik bahkan makian tatkala kritik pedas terbarunya
disampaikan tentang kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri dan PDI
Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang rusak dan kacau. Banyak
simpatisan partai berlambang kepala banteng bulat dalam lingkaran putih itu
menyebutkan pakar sosiologi lulusan Harvard University itu sebagai tidak
nasionalis karena banyak bicara di luar dan mengkritik namun memilih bermukim
di luar negeri.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.
Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktek sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa.
Namun secara
teoritis kata Arief nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari suatu
bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama, dan pengalaman
bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang terjadi. Yang biasa terjadi adalah
pemakaian pengertian nasionalisme secara spesifik sehingga rentan terhadap
manipulasi. Karena nasionalisme terkadang dipakai untuk bermacam-macam hal maka
pengertiannya harus pula dilihat kasus per kasus.
Mengatasnamakan
nasionalisme untuk dikaitkan dengan amandemen dan penolakannya oleh sejumlah
kalangan, misalnya, menurut Arief bisa relevan tetapi bisa juga tidak.
Disebutkan, diartikan seakan-akan nasionalisme adalah negara kesatuan tetapi
dalam negara kesatuan itu terdapat eksploitasi. Terhadap Jakarta yang mengambil
terlalu banyak oleh daerah yang tidak kebagian meminta jatah dan tetap pula
tidak dipedulikan yang berarti tidak ada nasionalisme di situ. Oleh mereka yang
memperjuangkan nasionalisme kemudian berpendapat, “justru mungkin Republik
Indonesia akan lebih dipersatukan bila menjadi negara serikat atau federal
state.”
Dicontohkan,
negara Australia tempatnya bermukim sekarang kuat sekali nasionalismenya sebab
tiap negara bagian mempunyai pemerintahan masing-masing seperti juga di Amerika
Serikat. Jadi, menurutnya, sama sekali tidak benar jika Republik Indonesia
dipertahankan hanya kalau berbentuk negara kesatuan. Karena masalah sebenarnya
adalah kepentingan, apakah kepentingan dari banyak orang terpelihara atau
tidak. Dalam banyak kasus ternyata kepentingan lebih banyak orang akan semakin
terpelihara jika negara berbentuk federal di mana kesatuan yang berpusat di
Jakarta tidak diperlukan lagi.
Penyederhanaan
nasionalisme menjadi sebentuk negara kesatuan adalah bermotif keinginan Jakarta
mempertahankan hegemoni terhadap daerah. Lalu, mereka yang seakan-akan mau
bebas dan tidak mau tunduk kepada Jakarta dianggap melawan nasionalisme.
Padahal itu hanyalah pengatasnamaan seakan-akan Jakarta adalah seluruh Republik
Indonesia dan dimaksudkan untuk mendapatkan untung bagi sebagian elit di
Jakarta.
Amandemen
Undang-undang Dasar 1945 dalam kacamata Arief Budiman umumnya adalah
memperbaiki yang lama. Seperti pemilihan presiden langsung suatu hal yang baik
masalahnya presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai sehingga beresiko
menimbulkan oligarki. Harusnya ada juga peluang untuk pencalonan presiden,
gubernur, dan bupati secara independen. Adalah kemajuan bahwa presiden dipilih
oleh rakyat secara langsung tetapi buntutnya masih dipegang oleh orang-orang
yang punya vested interest dalam partai.
Kemajuan lain
amandemen adalah dihapuskannya wakil militer di parlemen sejak tahun 2004.
Militer yang seharusnya profesional itu jika ingin berpolitik maka
berpolitiklah secara pribadi. Piagam Jakarta terutama Pasal 29 UUD 1945 tentang
agama dalam pengertian yang sesungguhnya adalah tidak terjadi kemunduran karena
yang dipertahankan adalah yang lama. Arief menyimpilkan secara keseluruhan
terjadi progresi dalam amandemen sehingga bisa memberikan tambahan optimisme.
Dia menyebutkan
pada dasarnya konstitusi harus selalu diperbaharui dan yang berhak menentukan
perubahan itu harus rakyat sendiri misalnya melalui semacam referendum khusus
untuk hal-hal yang kontroversial. Konstitusi merupakan sesuatu yang dinamis dan
mencerminkan kepentingan rakyat pada kurun waktu tertentu. Kepentingan bisa
berubah karena waktu dan tempat juga berubah demikian pula lingkungan ikut
berubah.
UUD 45 yang
dibuat oleh para pendiri bangsa belum tentu cocok untuk keadaan selanjutnya.
UUD 45 dibuat masih dalam keadaan kacau dan darurat sehingga sangat dibutuhkan
pemerintahan yang kuat. Demikian pula soal hal asasi manusia belum dimasukkan
karena sesungguhnya deklarasi HAM baru keluar tahun 1948 sehingga baru masuk
dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak digunakan.
Arief menilai
penolakan terhadap negara federal dahulu terjadi pada zaman Republik Indonesia
Serikat (RIS) sebab ide federal dipakai oleh Belanda hanya sebagai alat
pemecah-belah berbeda dengan jika sekarang yang dibuat oleh bangsa sendiri
Belanda-nya saja sudah tidak ada lagi. Tentang federal, menurut Arief antara
Megawati dengan militer setara punya mitos-mitos yang tidak bisa ditawar tanpa
penjelasan yang baik.
Arief Budiman
berpendapat bahwa rumusan umum nasionalisme adalah tatkala semua pihak mengutamakan
kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam definisi demikian apapun bisa
masuk, semisal, jika negara kesatuan adalah sesuatu yang penting untuk
mengembangkan bangsa maka itu adalah nasionalisme.
Demikian pula
jika ada orang yang mengatakan bahwa negara federal akan lebih baik bagi
kepentingan meningkatkan kesejahteraan semua sebagai bangsa maka itu juga
nasionalisme. Seandainya harus berperang pun dengan Australia jika itu berguna
untuk memperbaiki bangsa adalah nasionalisme juga. Tetapi jika semuanya tidak
berguna maka menjadi tidak nasionalis. Nasionalisme adalah tujuan yang bisa
dicapai dengan bermacam cara termasuk dalam hal amandemen konstitusi apakah
perubahan itu baik bagi bangsa ini atau tidak.
Posisi
nasionalisme dalam kasus pengusiran TKI dari negeri Malaysia, misalnya, menurut
Arief Budiman kasusnya lebih banyak disebabkan karena kesalahan diplomasi serta
kesemrawutan Departemen Luar Negeri dan pemerintah Indonesia mengurus warganya
di luar negeri. Tanpa kata nasionalisme pun adalah kewajiban membela warga
negara yang pergi sebagai orang miskin sebab tidak bisa hidup di negeri
sendiri. Mestinya yang dipersoalkan kenapa orang-orang TKI itu cari makan di
luar negeri yang lalu secara menyakitkan diusir oleh negara yang juga sama-sama
mengalami kesulitan oleh karena kedatangan TKI itu. Kepada TKI itu kenapa tidak
bisa diberikan pekerjaan.
Seiring dengan
itu sebagai orang Salatiga Arief Budiman ikut pula merasakan sentimentil
sejenis milik para TKI yang ingin pulang ke kampung halaman sebab merasa sudah
capek berbicara bahasa Inggris terus-menerus bahkan hingga bermimpi pun memakai
bahasa Inggris. Bagi dia Salatiga adalah tetap sebagai tanah air. Meskipun dia
merasa bukan patriot bahkan jika harus merasa bukan Indonesia sekalipun bagi
dia pun bukan masalah yang penting Salatiga adalah tetap sebagai tanah air.
Dia tetap ingin
pulang ke Indonesia. Selain karena teman-temannya ada di Indonesia dia kalau
ngomong berbahasa Indonesia dia rasakan lebih puas termasuk kalau ngomong
lelucon atau ngomong jorok lebih plong rasanya sebab emosi keluar semua. Semua
itu telah membuat dia rindu selalu terhadap Indonesia walau dia anggap itu
bukanlah sebagai patriotisme atau nasionalisme. Tetapi karena dilahirkan di
Indonesia, kecil diIndonesia, teman-temannya di Indonesia termasuk bahasa yang
dia pakai ketika pertama kali menyatakan emosi adalah bahasa Indonesia memberi
dia alasan untuk rindu Indonesia. Karenanya pada hari tua Arief Budiman akan
lebih senang berada di Indonesia. Dia mempersilakan kalau sikapnya itu bisa
disebut sebagai nasionalisme..
Perubahan-perubahan
yang terjadi di Indonesia dilihat oleh Arief Budiman sebagai sebuah pergerakan
sejarah yang tetap memberi harapan. Arief pernah mengalami hidup di zaman
Soekarno demikian pula Soeharto termasuk masa reformasi. Jika pada zaman
Soeharto saja dia masih punya harapan maka harapan itu menjadi lebih setelah
sekarang Soeharto jatuh. Progresi yang terjadi dia lihat banyak sekali sehingga
memberi harapan yang lebih besar daripada di masa Soeharto. Progresi yang
terjadi itu misalnya pers yang bebas serta demokrasi yang mulai ada meskipun
masih kacau. Sekarang segala sesuatunya menjadi lebih mungkin untuk terjadi
hanya saja bangsa ini masih berada di tengah-tengah masalah yang masih segudang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar